Kamis, 03 Januari 2013

Sosiologi Keluarga

PENGERTIAN SOSIOLOGI KELUARGA

Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mengkaji tentang realitas sosiologis dari interaksi, pola, bentuk dan perubahan dalam lembaga keluarga, juga pengaruh perubahan/pergeseran masyarakat terhadap keluarga dan berpengaruh sistem dalam keluarga terhadap masyarakat secara umum. Mengapa  memperlajari ilmu sosiologi keluarga, karena awal muasal apa yang terjadi dalam masyarakat dan akan berpengaruh juga dalam masyarakat. 

DEFINISI KELUARGA
  •  Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. 
  • Dalam pengertian sosiologis, secara umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Jadi keluarga merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh hubungan darah dan masing-masimg anggotanya mempunyai peranan yang berlainan sesuai dengan fungsinya.
  • Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, 1994:5-10).
  • Dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman, 1994:12).
  • Kalau kita mempersempit pengertiannya, keluarga dapat diartikan sebagai sekumpulan orang-orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dimana satu sama lainnya saling ketergantungan (BKKBN, 1990:37). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan keluarga adalah mereka yang tinggal di dalam satu rumah atau satu atap baik itu adanya ikatan darah maupun bukan ikatan darah. Jadi dalam hal ini, pengertian keluarga dibatasi oleh tempat tinggal.
  • Menurut  S. Bogardus menyatakan bahwa: Keluarga adalah kelompok terkecil yang biasanya terdiri dari seorang ayah dengan seorang ibu serta satu atau lebih anak-anak. Dimana ada keseimbangan, kselarasan kasih sayang dan tanggung jawab serta anak menjadi orang yang berkepribadian dan berkecenderungan untuk bermasyarakat (S. Bogardus, 1982:57).
  •  
  • Ø  Menurut Sigmund Freud:  Keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan wanita. Bahwa perkawinan itu berdasarkan pada libido seksualitas, jadi keluarga itu merupakan manifestasi daripada dorongan seksual, sehingga kehidupan keluarga itu adalah kehidupan seksual suami istri. Jadi keluarga itu merupakan perwujudan dari adanya perkawinan antara pria dan wanita, sehingga keluarga itu merupakan perwujudan dorongan seksual. Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat berpengaruh langsung terhadap perkembangan individu sebelum atau sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat.
  • Menurut Duvall dan Logan ( 1986 ) : Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
  • Bailon dan Maglaya ( 1978 ) : Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
  • Keluarga adalah sebagai jenjang dan perantara pertama dalam transmisi kebudayaan (Soerya Wangsanegara).
  • Keluarga adalah unit/satuan masyarakat kecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dari masyarakat (Soerjono Soeharto).
  • Definisi keluarga menurut Departemen Kesehatan RI (1998) : Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
  • Definisi keluarga menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) : Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
  • Definisi secara umum : Keluarga adalah unit sosial atau kelompok sosial terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, satu atau lebih anak atau tanpa anak yang di ikat suatu perkawinan dimana di dalamnya terjadi adanya kasih sayang dan tanggung jawab dan dimana di dalamnya anak-anak dipelihara untuk menjadi seorang yang mempunyai rasa sosial.
  • Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat mana pun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu” (Narwoko dan Suyanto, 2004, p. 14).
  • Elliot  And Merrill : “…a group of two or more person residing together who are related by blood marriage or adaption.” adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup  bersama, atas dasar ikatan darah, perkawinan, atau adopsi.
  • Khairuddin : keluarga adalah hubungan yang terjadi antar seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang di atur oleh perkawinan secarah dengan keturunan-keturunan mereka yang merupakan satu kesatuan khusus.
  • Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah : - Unit terkecil dari masyarakat - Terdiri atas 2 orang atau lebih - Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah - Hidup dalam satu rumah tangga - Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga - Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga - Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing - Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan

Jumat, 14 Desember 2012

Stratifikasi Sosial

Terbentuknya Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial selalu ada dalam kehidupan manusia. Apakah stratifikasi tersebut selalu sama di setiap masyarakat? Apakah ada perbedaan stratifikasi antara masyarakat sederhana dan modern? Stratifikasi sosial pada masyarakat sederhana akan berbeda dengan stratifikasi sosial pada masyarakat modern. Stratifikasi pada masyarakat sederhana, pelapisan yang terbentuk masih sedikit dan terbatas perbedaannya. Sedangkan pada masyarakat modern, stratifikasi sosial yang terbentuk makin kompleks dan makin banyak.
Secara sederhana, perbedaan stratifikasi sosial bisa dilihat dari perbedaan besarnya penghasilan rata-rata seseorang setiap hari. Menurut Paul. B. Horton dan Chester L. Hunt bahwa terbentuknya stratifikasi sosial tidak hanya berkaitan dengan uang. Stratifikasi sosial adalah suatu pelapisan orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial. Stratifikasi sosial dalam masyarakat menurut terbentuknya dibagi menjadi sebagai berikut.

  1. Stratifikasi Sosial yang Terjadi dengan Sendirinya dalam Proses Pertumbuhan Masyarakat. Landasan terbentuknya stratifikasi yang terjadi dengan sendirinya, antara lain: kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, harta dalam batas-batas tertentu. Namun demikian, setiap masyarakat memiliki landasan tersendiri dalam terbentuknya stratifikasi sosial. Landasan terbentuknya stratifikasi sosial pada masyarakat berburu tentu akan berbeda dengan stratifikasi sosial pada masyarakat bercocok tanam. Landasan terbentuknya stratifikasi sosial pada masyarakat adalah sebagai berikut. Pada masyarakat berburu, yang menjadi landasan stratifikasi adalah kepandaian berburu. Jadi, seseorang yang memiliki kepandaian berburu di atas orang lain dipandang berada pada stratifikasi sosial tinggi. Pada masyarakat menetap dan bercocok tanam yang menjadi landasan stratifikasi adalah kegiatan awal membuka tanah di daerah tersebut. Pembuka tanah dan kerabatnya dianggap memiliki stratifikasi sosial yang tinggi.
  2. Stratifikasi Sosial yang Sengaja Disusun untuk Mengejar Suatu Tujuan Bersama. Stratifikasi sosial yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi formal. Misalnya, pemerintahan, badan usaha, partai politik, dan angkatan bersenjata. Pada stratifikasi sosial jenis ini kekuasaan dan wewenang merupakan unsur khusus dalam stratifikasi sosial. Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa pokok yang mendasari terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat.Sistem stratifikasi berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat. Sistem stratifikasi sosial dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai berikut: 1) Sistem pertanggaan yang diciptakan para warga masyarakat (prestise dan penghargaan). 2) Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, seperti penghasilan, kekayaan, dan keselamatan. 3) Criteria system pertentangan, yaitu disebabkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang, atau kekuasaan. 4) Lambang-lambang kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, dan keanggotaan dalam suatu organisasi. 5) Mudah tidaknya bertukar kedudukan. 6) Solidaritas di antara individu-individu atau kelompok yang menduduki kedudukan sama dalam sistem sosial masyarakat.

Dasar Terbentuknya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial dalam masyarakat terjadi karena adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Sepanjang masyarakat memberikan penghargaan terhadap sesuatu yang dianggap lebih, maka stratifikasi sosial di masyarakat tetap akan ada. Sesuatu yang dipandang berharga, antara lain

a. uang;
b. tanah;
c. benda-benda bernilai ekonomis;
d. kekuasaan;
e. ilmu pengetahuan;
f. keturunan;
g. pekerjaan;
h. kesalehan dalam agama.
 
Secara umum, pembentukan stratifikasi sosial dalam masyarakat didasari oleh beberapa kriteria berikut ini.

  1. Ukuran Kekayaan. Mereka yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam golongan lapisan atas. Kekayaan yang dimiliki dapat dilihat dari bentuk dan model rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian, cara berbelanja, dan tempat makan.
  2. Ukuran Kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar akan menempati lapisan atas.
  3. Ukuran Kehormatan. Ukuran kehormatan terlepas dari ukuran kekayaan dan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati dalam masyarakat akan menempati lapisan sosial tertinggi. Ukuran kekuasaan banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Dalam masyarakat tradisional, orang yang dihormati adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
  4. Ukuran Ilmu Pengetahuan. Ilmu pengetahuan dipakai sebagai ukuran stratifikasi sosial pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran untuk menentukan lapisan sosial masyarakat di atas bukanlah ukuran mutlak yang tidak bisa berubah. Masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan untuk menentukan stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.

Sabtu, 08 Desember 2012

Pendidikan Multikultural

Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Multikultural

Pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam artinya yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam arti teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan, dari generasi ke generasi.

Menurut Andersen dan Cusher (1994: 320) Pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Banks (1993: 3) pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan atau sunatullah).

Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).

Hilda Hernandez dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, pendidikan Multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
 
Dimensi Pendidikan Multikultural (James Banks)
  1. Dimensi pertama (Contents Integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu.
  2. Dimensi kedua (The Knowledge Construction Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplim).
  3. Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social).
  4. Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa yang menentukan metod pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Awal Pendidikan Multikultural
Menurut Prof. HAR Tilaar, awal dari pendidikan multikultural adalah berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seuasai perang dunia ke-2. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas (keberagaman) di negara-negara barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Tilaar mengungkapkan fokus pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok sosial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus ini pernah meenjadi tekanan pada pendidikan multikultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition.


Paradigma Pendidikan Multikultural

Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.

Kemajemukan adalah ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baaik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
  1. Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.
  2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
  3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
  4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya menjadi wacana belaka. Gagasan ini belum mampu dilaksanakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah dalam tindakan praksis.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.
 
Pendekatan Pendidikan Multikultural

Men-design pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tatanan yang tidak ringan. Perlu disadari bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas merayakan keragaman. Dalam kondisi demikian, pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk itu diperlukan sejumlah pendekatan. Beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
  1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
  2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
  3. Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah etnik merupakan anitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
  4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
  5. Kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan nonpribumi.
 Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak kemunculan sebagai sebuah disiplin ilmu sejak dekade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multiculture Based Education, selanjutnya di singkat (MBE), telah didefinisikan dalam banyak cara dan berbagai perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilah yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multikultural (multicultural education) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multikultural negara-negara barat.

Dalam buku Multiculturral education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, karya seorang pakar pendidikan multikultural dari California State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua definisi ‘klasik’ untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam (plural) secara kultur.

Dalam suatu dekade terakhir, Hernandez mengembangkan sebuah definisi operasional mengenai MBE .Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. MBE juga berkenaan dengann perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi didalam sekolah dan luar ruangan.

Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat indonesia yang heterogen, plural. Pendidikan multikultural yang di kembangkan di Indonesia sejaln dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda).

Menurut Azyumardi Azra pada level nasional,berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memakssakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan raksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran, tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktur terhadap kelompok minoritas.

Pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
  1. Transformasi diri.
  2. Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar.
  3. Transformasi masyarakat.

Wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini.
 
Tantangan Pendidikan Multikultur di Indonesia
  1. Agama, suku bangsa dan tradisi. Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
  2. Kepercayaan. Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
  3. Toleransi. Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.



Sosiologi Pariwisata Gembira Loka

Sejarah KRKB Gembira Loka

Ide awal pembangunan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka berasal dari keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1933 akan sebuah tempat hiburan, yang dinamakan Kebun Rojo. Ide tersebut direalisasikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan bantuan Ir. Karsten, seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Ir. Karsten kemudian memilih lokasi sebelah barat sungai Winongo, karena dianggap sebagai tempat paling ideal untuk pembangunan Kebun Rojo tersebut. Namun akibat dampak Perang Dunia II dan juga pendudukan oleh Jepang, maka pembangunan Kebun Rojo terhenti.

Pada saat proses pemindahan ibu kota negara dari Yogyakarta kembali ke Jakarta tahun 1949 dan setelah berakhirnya Perang Dunia II, tercetus lagi sebuah ide untuk memberikan kenang-kenangan kepada masyarakat Yogyakarta berupa sebuah tempat hiburan. Pemerintah pusat yang dipelopori oleh Januismadi dan Hadi, SH. Ide tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Yogyakarta, akan tetapi realisasinya masih belum dirasakan oleh masyarakat. Hingga di tahun 1953, dengan berdirinya Yayasan Gembira Loka Yogyakarta, yang diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka K.G.P.A.A Paku Alam VIII sebagai ketua, maka pembangunan Kebun Rojo yang tertunda baru benar-benar dapat direalisasikan.

Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1959, K.G.P.A.A. Paku Alam VIII meunjuk Tirtowinoto untuk melanjutkan pembangunan Gembira Loka. Dipilihnya Tirtowinoto karena yang bersangkutan dinilai memiliki kecintaan terhadap alam dan minat yang besar terhadap perkembangan Gembira Loka. Ternyata sumbangsih Tirtowinoto yang tidak sedikit, baik dalam hal pemikiran maupun material, terbukti mampu membawa kemajuan yang pesat bagi Gembira Loka. Sehingga di tahun 1878, ketika koleksi satwa yang dimiliki semakin lengkap, sehingga pengunjung Gembira Loka mencapai 1,5juta orang. Namun, setelah itu pengunjung Gembira Loka cenderung kian menurun, antara lain akibat krisis moneter tahun 1998. Celakanya, di tengah upaya pengelola Gembira Loka untuk menarik kembali minat pengunjungnya, tahun 2006 gempa bumi dahsyat mengguncang wilayah DIY dan sekitarnya. Gembira Loka pun tidak luput dari hantaman gempa bumi yang meluluhlantakkan dan diperparah dengan lahar dingin yang membanjiri Sungai Gajah Wong sehingga sebagian besar sarana dan prasarana yang dimiliki, termasuk beberapa fasilitas pendukung lainnya rusak berat. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, kini yayasan Gembira Loka terus berbenah

Akte berdirinya yayasan pun kemudian diperbaharui dan disempurnakan melalui notaris Tabitha Sri Jeany, S.H., mkn Nomor 19 tanggal 18 Mei tahun 2007. Dalam perkembangannya, pada bulan November 2009 Yayasan Gembira Loka menjalin kerjasama dengan PT. Buana Alam Tirta untuk mengelola Gembira Loka, dan diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan potensi Gembira Loka di masa depan.
 
Lokasi dan Luas KRKB Gembira Loka
Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka terletak di dua wilayah kecamatan. Yaitu Kecamatan Kotagede dan Kecamatan Umbulharjo. Kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh sungai Gajah Wong menjadi dua bagian. Sebelah timur sungai merupakan kebun raya dan sebelah barat merupakan kebun binatang. Luasnya mencapai ± 20 ha yang berisi berbagai macam spesies flora, fauna, dan berbagai wahana rekreasi dan edukasi.  
 
Status KRKB Gembira Loka

Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka adalah suatu Badan Hukum berbentuk Yayasan, status swasta dengan akta notaris RM. Wiranto No. 11 tanggal 10 September 1953. Akte berdirinya yayasan pun kemudian diperbaharui dan disempurnakan melalui notaris Tabitha Sri Jeany, S.H., mkn Nomor 19 tanggal 18 Mei tahun 2007. Pada November 2009 Yayasan Gembira Loka memulai kerjasamanya dengan PT. Buana Alam Tirta.
 
Analisis Teori

Pendekatan sosiologis di dalam mempelajari pariwisata dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teori atau perspektif sosiologi. Perspektif/teori atau pendekatan manapun yang digunakan, kajian sosiologi pariwisata harus prosesual (memperhatikan aspek waktu dan proses), kontekstual (memperhatikan berbagai faktor lingkungan yang lebih luas, seperti faktor politik, geografi, ekologi, dsb), komparatif (membandingkan dengan situasi yang berbeda), dan bersifat emik (menggunakan perspektif dari berbagai aktor yang terlibat dalam pariwisata), sehingga analisis menjadi lebih komprehensif dan bermakna (Cohen, 1979).

Tempat wisata Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka (Gembira Loka Zoo) dapat dianalisis dengan Teori Fungsionalisme-Strukturalisme yang termasuk dalam Teori Konsensus yang memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, yang dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan (equilibrium mechanism).

Teori Fungsionalisme-Strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu “sistem” dari interaksi antarmanusia dan berbagai institusinya, dan segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam hal nilai dan norma. Teori fungsionalisme menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam masyarakat.

Seiring dengan berdiri dan berkembangnya lokasi wisata KRKB Gembira Loka, belum pernah ada masalah ataupun konflik yang muncul, masyarakat sekitar dan pihak pengelola tetap harmonis karena muncul pembagian tugas yang secara tidak langsung membawa keuntungan sendiri bagi kedua belah pihak.

Beberapa asumsi pokok Teori Fungsionalisme-Strukturalisme adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat, sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang independent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi-fungsi tertentu, yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
  2. Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan perannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi “yang seharusnya”.
  3. Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan stabil.
  4. Berfungsinya masing-masing bagian (subsistem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah yang stabil, normal, karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan (Talcott Parsons).
  5. Apabila terjadi disfungsi pada suatu bagian, maka akan terjadi kondisi abnormal, sehingga equilibrium terganggu (Merton, 1957).
  6. Masing-masing elemen sosial mempunyai fungsi manifest dan fungsi latent.

Teori selanjutnya yaitu Teori Perubahan. Banyak berbagai macam perubahan yang terjadi di berbagai sektor KRKB Gembira Loka. Perubahan terjadi secara perlahan. Dapat diidentifikasi dari:
  1. Keberagaman fauna. Upaya untuk menambah koleksi fauna terus dilakukan oleh pihak pengelola KRKB Gembira Loka sebagai upaya konservasi satwa yang mampu memelihara dan melestarikannya sesuai habitat aslinya.
  2. Keberagaman flora. Terus menambah koleksi floranya dan melestarikan flora yang sudah ada agar tidak punah.
  3. Wahana yang dimiliki selalu diperbaharui dan dibangun wahana-wahana baru untuk melengkapi wisata KRKB Gembira Loka.
  4. Struktur organisasi kepegawaian.
  5. Harga tiket masuk dan tarif berbagai wahana yang disediakan selalu berubah mengikuti alur perkembangan berbagai bidang.
Dampak Yang Muncul

Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dan sebagainya.
  1. Dampak terhadap peningkatan kesempatan kerja, peluang usaha dan pendapatan masyarakat, dengan adanya KRKB Gembira Loka, masyarakat sekitar diberdayakan untuk membuka peluang usaha dengan membuka area parkir di sekitar rumah mereka karena ruang parkir yang disediakan oleh KRKB Gembira Loka cukup terbatas. Selain itu pihak KRKB Gembira Loka juga menyediakan tempat untuk masyarakat sekita berjualan di dalam area KRKB Gembira Loka. Umumnya mereka berjualan makanan ringan, makanan berat, souvenir, dan lain-lain. Dari itu semua maka secara otomatis pendapatan masyarakat sekitar relatif bertambah.
  2. Dampak terhadap peningkatan kesempatan kerja, masyarakat sekitar biasanya direkrut untuk menjadi pegawai di KRKB Gembira Loka. Ada yang sekedar menjadi satpam, petugas kebersihan atau bahkan tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
  3. Dampak terhadap peningkatan pendapatan pemerintah, tentu saja dengan keberadaan KRKB Gembira Loka menaikkan pendapatan pemerintah. Kepemilikan swasta harus menyetorkan pajak yang tidak sedikit untuk pemerintah.
  4. Terjaganya lingkungan alam, sesuai dengan visi misi KRKB Gembira Loka secara garis besar untuk menjaga kelestarian flora fauna juga sebagai sarana rekreasi edukatif.

Sosiologi Pariwisata

Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut Cohen dalam Pitana (2008) menyatakan bahwa sosiologi pariwisata adalah cabang keahlian yang memusatkan perhatian kepada motivasi turistik, peraturan-peraturan, hubungan, dan institusi dan akibatnya pada wisatawan dan kelompok-kelompok yang berkaitan dengan wisatawan tersebut.

Karena pariwisata menyangkut manusia dan masyarakat, maka pariwisata sangat sesuai untuk dijadikan objek dari sosiologi. Berkembanglah kemudian kajian-kajian sosiologi tentang pariwisata yang lebih lanjut menjadi cabang sosiologi tersendiri yang disebut sosiologi pariwisata. Secara singkat (Pitana, 2008) menyatakan bahwa sosiologi pariwisata adalah cabang dari sosiologi yang mengkaji masalah-masalah kepariwisataan dalam berbagai aspeknya. Dapat juga dikatakan bahwa sosiologi pariwisata adalah kajian tentang kepariwisataan dengan menggunakan perspektif sosiologi, yaitu penerapan prinsip, konsep, hukum, paradigma dan metode sosiologi di dalam mengkaji masyarakat dan fenomena pariwisata, untuk selanjutnya berusaha mengembangkan abstraksi-abstraksi yang mengarah kepada pengembangan teori. Pendefinisian ini dapat dianalogikan dengan cabang-cabang sosiologi lainnya, seperti sosiologi agama, sosiologi pembangunan, sosiologi hukum dst.

Analisis sosiologis terhadap pariwisata sangat penting dilakukan, karena :

  1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan dewasa ini, bahkan disebut-sebut sebagai industri terbesar sejak akhir abad 20, yang juga menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia.
  2. Pariwisata bukanlah suatu kegiatan yang beroprasi dalam ruang hampa. Pariwisata sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, ketertiban, keramah-tamahan, kebudayaan, kesehatan, termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya.
  3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisis atau kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktivitas dinamis, pariwisata memerlukan kajian terus menerus (termasuk dari aspek sosial budaya), yang juga harus dinamis, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, khususnya masyarakat lokal
  4. Pariwisata tidaklah eksklusif, dalam arti bahwa pariwisata bukan saja menyangkut bangsa tertentu, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua ras, etnik dan bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat penting.
  5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, yang mempunyai perbedaan dalam norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya. Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, adaptasi, dalam kaitan hubungan antar budaya yang tentunya merupakan salah satu isu sentral dalam sosiologi.
  6. Dewasa ini pariwisata sudah hampir menyentuh semua masyarakat dunia, sampai kepada masyarakat-masyarakat terpencil. Pariwisata sudah terbukti menjadi salah satu primeover dalam perubahan sosial budaya, sedangkan perubahan sosial budaya merupakan aspek kemasyarakatan yang menjadi salah satu fokus kajian sosiologi.
  7. Berkembangnya berbagai lembaga, baik ditingkat lokal, regional, ataupun internasional, yang terkait dalam pariwisata, juga merupakan salah satu perhatian dalam sosiologi, sebagaimana sebelumnya sosiologi telah membahas berbagai aspek modernisasi dan dependensi dari hubungan antar negara.

Rabu, 28 November 2012

Teori Sosiologi Klasik "Herbert Spencer"

Herbert Spencer dan Auguste Comte
Spenser sering sekali disamakan dengan Comte dalam hal pengaruh mereka terhadap perkembangan teori sosiologi (J. Turner, 2001a), namun ada sejumlah perbedaan penting antara keduanya. Sebagai contoh, tidak terlalu mudah mengategorikan Spencer sebagai seorang konservatif. Sebaliknya, pada tahun-tahun awal, Spencer lebih tepat bila dipandang sebagai seorang penganut politik liberal, dan ia mempertahankan unsur liberalisme ini sepanjang hayatnya. Namun, juga benar bahwa Spencer tumbuh semakin konservatif sepanjang hidupnya dan bahwa pengaruh dasarnya, sebagaimana Comte adalah konservatif.

Teori evolusi. Setidaknya ada dua prespektif utama tentang evolusi dalam karya Spencer(Haines,1998:Perin,1976).

Perspektif pertama terutama terkait dengan dengan meningkatkannya ukuran masyarakat-masyarakat tumbuh karena betambahnya jumlah individu dan menyatunya kelompok (perkumpulan). Peningkatan ukuran masyarakat membawa serta struktur sosial yang lebih besar dan lebih terdiferensiasi., sekaligus peningkatan diferensiasi fungsi yang dimainkannya. Selain, pertumbuhan ukuran, masyarakat berevolusi melalui perkumpulan, yaitu dengan menyatukan lebih banyak lagi kelompok yang sebelumnya telah terpadu. Jadi, Spencer berbicara tentang gerakan evolusi dari masyarakat sederhana manuju masyarakat perkumpulan ganda, dan masyarakat perkumpulan tripel.

Spencer juga menawarka teori evolusi dari masyarakat. Militan menuju masyarakat industri. Sebelumnya, struktur masyarakat militan dianggap hanya bertujuan perang dalam rangka bertahan dan mneyerang. Kendati Sspencer bersikap kritis terhadap perang, ia merasa bahwa pada tahap awal perang berfungsi menyatukan masyarakat, ( misalnya penaklukan militer) dan menyediakan lebih banyak jumlah orang yang diperlukan bagi perkembangan masyarakat industri. Namun, dengan kemunculan masyarakat industri, perang semakin tidak fungsional. Dan justru menghambat evolusi lebih lanjut. Masyarakat industri didasarkan pada persahabatan, alturisme, spesialisasi kompleks, pengakuan atas prestasi dibanding karakteristik yang dibawa sejak lahir., dan kerja sama suka rela antarindividu yang sangat disiplin. Masyarakat semacam itu dipersatukan oleh hubungan kontraktual sukarela, dan lebih penting lagi, oleh kuatnya kesamaan moralitas. Peran pemerintah dibatasi dan difokuskan dalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang. Jelas, masyaraka industri modern kurang menyukai perang bila dibandingkan masyarakat militan pendahulunya. Meskipun Spencer melihat adanya evolusi umum yang bergerak ke masyarakat industri, ia pun mengajui bahwa mungkin akan terjadi regresi periodik yang mengarah pada peperangan dan masyarakat militan.

Dalam tulisan-tulisannya tentang soal politik dan etika, Spencer menawarkan gagasan-gagasan lain entang evolusi masyarakat. Di antara alasan mengapa dia melakukan hal ini adalah karena dia memandang masyarakat sedang bergerak menuju keadaan moral yang ideal dan sempurna. Sedangkan alasan lainnya adalah dia menganggap bahwa masyarakat yang paling kuatlah yang dapat bertahan, sementara masyarakat yang kalah dalam seleksi akan sirna denga sendirinya. Hasil dari proses ini adalah perbaikan kemampuan adaptasi dunia secara keseluruhan.

Spencer menawarkan rangkaian gagasan yang begitu kaya dan rumit tentang evolusi masyarakat. Semula gagasannya memang menuai kesuksesan, tapi setelah itu diabaikan selama bertahun-tahun,dan akhir-akhir ini kembali bangkit seiring lahirnya teori-teori sosiologi neorevolusioner (Buttel,1990).

Sosiologi Herbert Spencer
Sebagai salah seorang pendiri sosiologi, usaha Spencer untuk memajukan ilmu ini sebagai suatu ilmu pengetahuan, menekankan pada perlunya pendekatan ilmiah bagi seluruh gejala yang ada serta mengingkatkan pendekatan ini bagi pengakajian kehidupan sosial. Anggapan yang ada selama ini memang bahwa semua gejala yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan selalu dikaikan dengan konsep-konsep metafisis dan agama. Seperti juga Comte, Spencer memperkenalkan ide-ide barunya dengan pendekatan yang juga baru yang pada saat itu dianggap bertentangan dengan semua pendekatan yang ada. Ide-ide Spencer pada saat itu memang mengalami tantangan. Sadar akan hal inilah Spencer melakukan rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dan agama yang termuat di dalam bukunya: First Principles, di mana dia membedakan antara dua fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahuai dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Hal-hal yang dapat diketahui katanya adalah yang merupakan pengalaman kenyataan dan mudah diterima oleh manusia sedangkan hal-hal atau gejala-gejala yang tidak dapat diketahui merupakan hal-hal yang berada di bawah lapangan pengetahuan manusia serta konsepsi manusia. Sejak kepercayaan absolut tentang Tuhan diterima oleh manusia, katanya, maka kepercayaan terhadap Tuhan merupakan kategori yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilihat. Spencer mencoba melakukan kompromi antara ilham pengetahuan dengan agama. Namun usahanya ini menyebabkan dia dicap oleh rohaniawan agama konservatif sebagai murtad dan berbahaya bagi kehidupan agama, karena dia dianggap menyembunyikan ilmu pengetahuan di balik agama.

Pertanyaan Spencer selalu berupa: Mengapa hal ini ada? Mengapa hal itu berubah? Dengan pertanyaan sedemikian ini dia masuk ke dalam usaha untuk mencari sumber-sumber yang asli dan menganalisis perkembangan yang beranekaragam ide yang tersirat di dalamnya. “Sebelum kita mengkaji kehidupan sosial, adalah perlu untuk memahami terlebih dahulu hukum-hukum asli tentang kehidupan sosial tersebut serta perkembangan setiap fenomena dan hukum-hukum umum mengenai evolusi”, kata Spencer. Hukum tersebut merupakan proposisi dasar yang melibatkan seluruh beda di dunia ini, baik itu berupa benda inorganis, benda organis atau sosial yang disebut super organik.

Spencer memulai tiga garis besar teori umum yaitu apa yang disebutnya dengan tiga kebenaran universal yang berbunyi: (1) adanya materi yang tidak terusakkan, (2) adanya kesinambungan gerak, (3) adanya tenaga kekuatan yang terus menerus. Di samping itu ada proposisi yang berasal dari kebenaran universal yaitu:
  • Kesatuan hukum, kesinambungan hubungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah muncull dengan sia-sia dan tanpa akhir.
  • Bahwa kekuatan tersebut tidak pernah musnah namun akan ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan yang lain.
  • Segala sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak-tidaknya akan dirintangi oleh suatu kekuatan yang lain.
  • Adanya suatu irama daripada gerakan atau disebut dengan gerakan alternatif.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda-beda di halaman proses evolusioner ini. Dan hukum itu ialah pernyataan bahwa hilangnya sesuatu gerakan biasanya diiringi oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintergrasi dari keadaan tersebutt atau menurut Spencer, adanya evolusi selalu diikuti oleh disolusi. Evolusi yang sederhana hanyalah merupakan suatu gerak yang hilang dan merupakan suatu redistribusi dari keadaan. Evolusi itu sendiri terjadi dimana-mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi, kehidupan organik sepertii biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi.

Spencer mengajukan empat pokok penting tentang sistem evolusi umum yaitu:
  • Kestabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
  • Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan (equilibrium) saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lain.
  • Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segresi.
  • Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.

Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi superorganis yang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dillakukan oleh individu-individu. Di dalam karyanya, Prinsip-Prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologisnya menjadi 3 bagian yaitu:
  • Faktor-faktor extrinsic asli seperti: fisis dan iklim.
  • Faktor-faktor intrinsic asli seperti: fisis, intelektual, rasa, atau emosional manusia.
  • Faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum, dan lembaga-lembaga.

Dalam tahun 1890 Prof. Giddengs membuat singkatan ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri. Adapun singkatan sistem sosial Spencer adalah sebagai berikut:
  • Masyarakat adalah oragnisme, atau mereka adalah superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  • Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga, suatu kekuatan yang seimbang. Keseimbangan itu ialah antara masyarakat dan masyarakat, anatra kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lain.
  • Equilibrasi antara masyarakat dan masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan mereka berjuang satu sama lain demi eksistensi mereka di antara warga masyarakatnya. Akhirnya konflik mejadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  • Di dalam perjuangan ini kemudian timbullah rasa takut di dalam hidup bersama serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati adalah pangkal kontrol terhadap agama.
  • Dengan diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama maka kebiasaan konflik menjadi benih militerisme. Militerisme membentuk sifat dan tingkah laku serta membentuk organisasi sosial dalam peperangan pada umumnya.
  • Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial yang lebih besar. Dalam penggabungannya ini diperlukan integrasi sosial. Proses semacam ini memperluas medan integrasi sosial yang biasanya terdapat pemupukan rasa perdamaian antara sesamanya serta rasa kegotong-royongan.
  • Kebiasaan berdamai dan rasa kegotong-royongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka pada hidup tentram dan penuh dengan rasa setia kawan.
  • Di dalam tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian kekuatannya akan berkurang namun sebaliknya rasa spontanitas serta inisiatif semakin bertambah, organisasi sosial menjadi semacam plastik saja sedangkan anggota masyarakat dapat berpindah dengan leluasa dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka mengubah hubungan sosial mereka tanpa merusak kohesi sosial yang telah ada. Kesemuanya ini merupakan elemen di mana rasa simpati dan seluruh pengetahuan yang ada di dalam kelompok sosial merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat primitif.
  • Perubahan dari semangat militerisme menjadi semangat industrialisme, semangat kerja keras tergantung pada luasnya tenaga antar kelompok-kelompok masyarakat yang ada serta kelompok masyarakat tetangganya, antara ras dalam suatu masyarakat yang ada serta masyarakat yang lain, antara masyarakat pada umumnya serta lingkungan fisis yang ada. Akhirnya semangat kerja keras yang disertai dengan penuh rasa perdamaian tak dapat dicapai sampai keseimbangan bangsa-bangsa serta ras-ras yang ada tercapai lebih dahulu.
  • Di dalam masyarakat, seperti pada kelompok masyarakat lain tertentu, luasnya perbedaan serta jumlah kompleksitas segenap proses evolusi tegantung pada nilai-nilai proses integrasi. Semakin lambat nilai integrasinya, semakin lengkap dan memuaskannya jalannya evolusi itu.

Manusia Sebagai Unit Sosial

Manusia dalam pandangan sosiologi Spencer amatlah penting. Dia percaya bahwa masyarakat secara alamiah tidak dapat menghindarkan diri dari perjuangan untuk dapat hidup terus diantara sesama individu dan masyarakatnya. Seperti halnya di dalam filsafat abad ke-19, Spencer percaya benar terhadap individualisme dan kemerdekaan. Setiap individu dapat saja dengan bebas menggunakan adat kebiasaannya sendiri maupun meniru adat kebiasaan orang lain. Hanya saja kebebasan ini tetap harus dijaga agar tidak menjalar pada kebebasan orang lain.

Spencer dalam karya-karyanya tidak memperhatiakn pendekatan kultural maupun apresiasi terhadap efek kebudayaan yang ada pada seseorang. Di dalam skema besarnya, Spencer menjelaskan akan pentingnya lembaga agama dan pemerintahan dalam membentuk para individu serta meneruskan penelitiannya mengenai asal usul rasa ketakutan manusia. Dari rasa takut pada manusia yang hidup ini kemudian menimbulkan suatu pemerintahan. Rasa takut pada kematian akan menimbulkan agama. Di samping itu Spencer juga mengingatkan kembali bahawa hubungan orang-orang dan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dia mengamati bahwa individu dapat mempengaruhi masyarakat, sebaliknya masyarakat juga dapat mempengaruhi individu.
4. Kekuatan Sosial dan Proses
Spencer mepunyai keyakinan bahwasanya nanti suatu saat masyarakat akan mencapai keadaan yang seimbang dalam hal kekuatansetiap orang berjuang untuk mencapai kehidupan dan mencari kebahagiaan. Dia menerimaanggapan filsafat yang besar bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari setiap kehidupan manusia dan bahwasanya masyarakat yang ada itu akannmenciptakan kebahagiaan yang paling besar baagi sejumlah warga masyarakatnya.

Konflik dan perjuangan untuk hidup merupakan proses yang paling utama. Masyarakat selalu berhubungan dengan kedua hal tersebut baik di masa yang sudah lewat dan masa sekarang. secara pemerintahan, konflik ini terutama berkisar pada bidang ekonomi dan militer. Spencer sebagai seorang optimis dan percaya akan adanya progress di dalam masyarakat selalu memandang akan adanya perubahan di dalam lembaga ekonomi dan pemerintahan. Ekonomi akan berubah dari bentuk ekonomi berburu dan pertanian menuju ekonomi industri. Sedangkan pemerintahan akan berubah dari militerisme yang besar dan kuat menuju pada suatu negara yang tenteram denga suatu pengecilan ukuran dari kekuatannya. Jadi, konflik pada masa lewat maupun sekarang yang dianggap penting akan menjadi kurang penting pada masa yang akan datang.

Proses diferensiasi dan spesialisasi di dalam masyarakat selalu dibarengi oleh perjuangan untuk hidup. Konsepsi Spencer mengenai evolusi universal telah berubah dari evolusi homogen dan tidak menentu menjadi evolusi yang heterogen dan menentu.

Struktur Sosial

Spencer yakin terhadap adanya masyarakat sebagai suatu organisme, dengan menggunakan analogi biologi untuk menggambarkan organisasi masyaarakat. Setiap masyarakat memiliki sistem peraturan (pemerintah dan militer), suatu sistem distribusi (perdagnagn dan komunikasi) dan suatu sistem penopangan (ekonomi) yang sama saja dengan regulasi, sirkulasi serta nutrisi dalam suatu organisme biologi. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar aliran organisme bagi kaum sosiolog yang selanjutnya dijadikan konsepsi masyarakat. Oleh karenanya tidak ragu-ragu lagi bahwasanya ada persamaan antara organisme dan masyarakat.

Spencer terutama sekali tertarik dalam menggambarkan dan memperbandingkan bermacam-macam lembaga sosial. keluarga, pemerintah dan lembaga ekonomi merupakan aspek-aspek yang ia alami. Dia membicarakan masyarakat militer yang didalamnya terdapat pusat kontrol dalam masalah perang dan damai. Keduanya ditangani oleh pimpinan angkatan perang yang juga merangkap sebagai pimpinan politik. Pemerintah dan organisasi gereja mengajarkan rasa ketaatan dan pengabdian yang mendalam.

Masyarakat industri berlawanan dengan militer. Masyarakat industri adalah masyarakat yang penuh dengan perdamaian, demokratis dan terpilih di dalam organisasi politik. Spencer melihat adanya kemungkinan penggabungan antara militerisme dan industrialisasi, seperti yang erbukti pada abad ke-20 sekarang. namun dia gagal dalam melihat timbulnya negara sosialisme sebagai suatu gabungan antara pemerintahan industrialisme dan dan pemerintahan yang lebih besar dan lebih kompleks.

Teori evolusi pemerintahan serta tipe-tipe militernya yang ideal serta masyarakat industrinya adalah sama dengan teori Durkheim mengenai masyarakat organias dan masyarakat mekanis.

Perubahan Sosial

Segala sesuatu itu berubah dan akan menjadi lebih kompleks lagi. Perubahan dalam suatu area kehidupan akan membawa perubahan yang cepat dan berbeda-beda pada lainnya. Satu sama alinnya saling berkaitan. Penyebab yang satu akan menjadi penyebab lainnya. Ini adalah hukum Spencer mengenai multiplikasi efek yang tenah dicanang dalam Corollaly II di dalam teori evolusi umumnya. Dia lebih lanjut menklasifikasikan faktor-faktor di dalam perubahan sosial yaitu faktor primer dan faktor sekunder.

Faktor-faktor primer adalah sifat individu masyarakat dan kondisi masyarakat yang ada. Yang dimaksud dengan individu disini adalah sifat fisik, emosi dan intelektualnya orang-orang di dalam masyarakat yang menyebabkan perubahan sosial dalam kelompok itu. Spencer juga memperhitungkan akan adanya evolusi sosial (seperti dalam alam kehidupan manusia primitif) adalah lebih menggantungkan pada kondisi lokal daripada kondisi-kondisi yang lain. Kesemuanya ini menciptakan adanya banyak masalah yang harus dipecahkan oleh manusia bila manusia itu ingin dapat hidup terus.

Faktor sekunder ialah faktor yang berasal dari perubahan manusia. Kesemuanya terdiri dari lima faktor:
  • Modifikasi yang progresif mengenai lingkungan yang dijalankan oleh masyarakat.
  • Ukuran masyarakat. Kepadatan penduduk secara langsung akan bertambah proporsinya karena adanya spesialisasi di dalam pekerjaan manusia.
  • Pengaruh timbal balik antara masyarakat dan individu. Pengaruh keseluruhan terhadap bagian-bagian yang ada terhadap keseluruhan.
  • Akumulasi produk superorganik, seperti obyek materi, bahasa, pengetahuan, mite-mite dan sejenisnya.
  • Perjuangan antara masyarakat dengan masyarakat tetangganya

Konflik antara kelompok dan yang hidup dengan layak telah mendominir sosiologinya Spencer. Perang bagi Spencer, sumbernya dan hampir secara ekslusif berasal dari terintegrasinya kekuatan-kekuatan kepentingan sosial yang paling besar. Perkembangan politik ditentukan oleh perjuangan kelompok yang menentang suatu kelompok lain. Perkembangan ekonomi ditentukan oleh perjuangan manusia terhadap alam.

Spencer akhirnya menyebutkan:

Dengan berkembangnya masyarakat dalam arti umum, maka mereka menunjukkan integrasi baik dengan massa yang bertambah secara sederhana maupun dengan cara koalisi dan rekoalisi massa. Perubahan dari homogenitas menuju heterogenitas bisa dijadikan contoh secara luas, mualai dari suku yang paling sederhana sampai pada bangsa yang beradab yang penuh dengan fungsi dan strukturnya. Dengan majunya integrasi dan heterogenitas maka meningkatlah perhubungan masyarakat itu. Kelompok masyarakat yang hidup mengembara mulai punah, terbagi-bagi menjadi satuan kecil yang tidak mempunyai kelompok, suku dengan bagian-bagiannya membuat persekutuan yang lebih kuat dengan cara mengabdikan dirinya paada seorang pimpinan yang dominan, kelompok-kelompok suku bergabung menjadi satu dalam suatu jalinan politik di bawah seorang pimpinan dan sub pimpinan, dan selanjutnya sampai pada suatu bangsa yang beradab mengadakan konsolidasi bersama-sama selam ribuan tahun bahkan lebih. Secara simultan datanglah kepastian. Misalnya peraturan-peraturan yang tepat meski datangnya secara perlahan-lahan, adat kebiasaan mulai dilewatkan diganti dengan hukum yang lebih tepat dan lebih spesifik dalam pengetrapannya terhadap tindakan yang beranekaragam itu. Jadi kesemuanya itu telah memenuhi formula evolusi sebagai suatu progres terhadap ukuran yang lebih besar, berkesinambungan, bentuk yang jamak serta kepastian yeng lebih mantap.

Spencer mempertimbangkan bahwa formula integrasi serta perbedaan-perbedaan yang dipergunakan tidak hanya untuk masyarakat saja, namun juga untuk bagian-bagian masyarakat (sistem sosial). Dia membuat analisa yang mendalam mengenai perkembangan masyarakat, tetapi ia menghindarkan diri dari faktor-faktor seperti penemuan-penemuan, migrasi dan kontak budaya. Kemudian para peneliti juga mempertanyakan statemennya yang menyatakan bahwa masyarakat atau sistem sosial selalu cenderung menjadi lebih heterogen. Perkembangan bahasa juga agama yang pernah disinggung sebelumnya kadang-kadang hanya merupakan suatu penyederhanaan saja daripada kompleksitas yang semakin timbul. Beberapa penemuan akan lebih menyederhanakan prosedur daripada mempersulitnya.

Setelah mempelajari evolusi sosialnya Spencer, maka Rumney menyimpulkan bahwa konsep yang telah dicapai dapat dikualifikasikan sebagai berikut:
  • Perkembangan yang tidak linier harus dikeluarkan.
  • Batas-batas harus diletakkan di setiap proses sosial atau garis perkembangan.
  • Evolusi dalam artian menurunnya modifikasi yang tidak boleh dikacaukan dengan evolusi yang berkonotasi terhadap asal mula segala sesuatu.
  • Formula evolusi sosial tidak perlu diperluas atau bila diperluas akan kehilangan nilai penjelasannya.
  • Integrasi serta perbedaan yang meningkat terjadi di dalam evolusi, namun peningkatan kesemuanya itu tidak perlu menimbulkan kompleksitas.
  • Spencer hanya memberikan sedikit mengenai faktor manusia, kesadaran dalam pembuatan perencanaan yang dibuat oleh individu atau kelompok.
  • Dia melupakan aspek-aspek kualitatif mengenai evolusi.
  • Dia salah dalam mengasosiakan kemajuan yang ada dalam evolusi.

Spencer menggunakan istilah progres dan evolusi sebagai suatu istilah yang sinonim. Dia beranggapan bahwa evolusi itu sudah jamak, otomatis dan mempunyai kaitan dengan hal-hal yang bersifat progresif. Bahwa evolusi manusia telah mengambil tempat sudah tidak diragukan lagi daripada evolusi biologisnya. Namun yang masih tetap diragukan ialah penyebab evolusi itu sendiri.

Metodologi

Sebagai seorang pendiri sosiologi, Spencer juga ingin membuat metodologi bagi ilmu pengetahuan masyarakat. Sampai pada generalisasinya, maka dalam karyanya ia menggunakan empat metode ilmiah, yaitu deduksi, induksi, metode komparatif dan metode variasi yang menyertainya.

Dalam studi sosiologinya, ia membicarakan betapa sulitnya mempelajari fenomena sosial. Secara obyektif, kesulitan-kesulitan itu timbul karena para ilmuan sebagai suatu bagian masyarakat yang dia pelajari tidak dapat melepaskan dirinya sendiri dari masyarakat yang sedang dikajinya. Ia juga harus menyadari terhadap observasi orang lain yang mungkin juga kurang cermat disebabkan oleh adanya kecerobohan, fanatisme atau kepentingan kesaksiannya. Dia harus berhati-hati sekali dalam mempertimbangkan kebenaran atas kesaksiannya. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh perhatian masyarakat terhadap sesuatunya dan tidak boleh berat sebelah dalam mempertimbangkan kepentingan yang sama lainnya.

Sedemikin jauh, mungkin saja dia dapat mencapai suatu penjelasan yang amat cermat. Di samping kesulitan-kesulitan yang obyektif, seorang ilmuwan sosial juga harus melawan terhadap adanya kesulitan-kesulitan subyekif. Fenomena sosial itu mempunyai kiatan antara satu dengan lainnya dan kaitan ini sulit sekali. Namun kadang-kadang juga dimungkinkan untuk memisah-misahkan kenyataan-kenyataan tersebut. Kesulitan intelek pun menrupakan hal yang nyata, sebab kurangnya bagian intelek ini menyebabkan sulitnya penjajagan fenomena sosial yang betul-betul terlibat di dalamnya. Demikian juga kita mendapatkan kesulitan dalam menelaah perbedaan masyarakat yang sedemikian besarnya yang selalu berubah-ubahdari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat lainnya. Dengan tambahan bahwa seorang ilmuwan harus dapat menjaga faktor-faktor emosinya yang dapat mengganggu penemuan-penemuannya. Ketakutannya, seperti juga rasa condong sebelah dapat mengganggu penilaiannya. Spencer memperlakukan rasa condong sebelah ini dengan cara mendetail dan menggambarkan bahwa semua yang dihasilkan dari pendidikan, patriotisme klas, politik dan agama merupakan ketidak-sesuaian di dalam penilaian.

Dia beranggapan bahwa studi masyarakat itu penting karena hal itu akan memberikan pengertian yang lebih baik akan adanya masyarakat, asal mulanya serta hubungan natar bagian-bagiannya. Namun sedemikian jauh dia tidak menghendaki agar sosiologi itu mengubah masyarakat. Karena kepercayaannya terhadap evolusi sosial yang tak dapat dielakkan lagi serta umum itu, maka ia mempertimbangkan bahwa reformasi sosial itu tidak perlu bahjan merugikan efek masyarakat itu sendiri. Sedemikian jauh ia beranggapan bahwa refomasi sosial mungkin dapat menganggu, menghambat atau mengacaukan jalannya kemajuan. Oleh karena dia beranggapan bahwa studi sosilogi harus menghindari perangkap semacam ini.

Beberapa Catatan Terhadap Spencer

Dengan Comte, Spencer membuat sosiologi suatu ilmu pengetahuan serta menentukan arah pandangan sosiologi itu. Akhirnya Rumney memberikan ringkasan yang amat berguna mengenai karya Spencer sebagai berikut: Teori Sosiologi Spencer dapat dipastikan lebih maju daripada Comte. Dia menunjukkan suatu keterampilan dalam mengetrapkan data etnologis dan metode komparatif. Metode dan hasil-hasilnya memberi inspirasii pada Durkheim di Perancis, Hobhouse di Inggris, Albion Small, Sumner dab Giddings di Amerika Serikat, Wiese, Oppenheier, Schmoller dan Muller Lyer di Jerman.

Garis besar pandangan dan tujuan sosiologi Spencer ditandai oleh adanya kesatuan dan perpautan sebagai seorang filosof yang benar-benar ingin membuat suatu Ilmu Masyarakat. Dia menekankan pandangannya pada sifat superorganis masyarakat, namun pandangan individualistis yang berat sebelah itu menolak atau berlawanan terhadap adanya unit massa sebagai individu yang ada dalam masyarakat. Dia melihat dengan jelas adanya ketergantungan sosiologi terhadap psikologi dan juga sosiologi terhadap sejarah. Dia adalah orang yang pertama kalinya menunjukkan akan pentingnya psikologi komparatif dan emperhatikan akan pentinngnya syllabus untuk psikologi koparatif ini. Tidak seperti para sosiolog sebelumnya, dia tidak menggunakan istilah masyarakat sebagai suatu yang tidak mempunyai bentuk, namun sai membicarakan mengenai masyarakat-masyarakat. Dia membuat kerangka klasifikasi mengenai masyarakat-masyarakat dan suatu morfologi sosial yang benar-benar amat berguna bagi sosiologi yang ilmiah. Analisanya mengenai lembaga-lembaga rumah tangga, politik, industri dan agama memiliki banyak pertentangan dengan observasi dan ilustrasi yang pernah dilakukan. Dia menunjukkan akan arti pentingnya faktor ekonomi dalam membentuk perkembangan masyarakat dan dia melihat korelasi antara lembaga-lembaga pasa suatu saat tertentu. Di antara lembaga dan tipe masyarakat yang ada itu Spencer memasukkan penyelidikkannya mengenai tindakan psikologis mayarakat terhadap para individu dan para individu terhadap masyarakat. Dia menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan psikologis yang menjaga otoritas keluarga dan otoritas negara. Dia mementingkan akan adanya keaneka-ragaman yang tidak menentu serta komplekitas sikap, kebiasaan, moral, upacara dan hukum. Dia telah menganalisa kompleksitasnya penyebab sosial dan faktor-faktor yang masuk ke dalam proses sosial.

Diskusinya mengenai evolusi sosial dan kemajuan sosial akan menjadi lebih cerah lagi setelah melewati jamannya. Hal ini memerlukan modifikasi dan kwalifikasi namun kesemuanya itu merupakan titik tolak untuk lebih dapat memahami studi evolusi sosial dan kemajuan sosial. Pada akhirnya Spencer membuat bagan tentang hukum-hukum perkembangan sosial, sebab tanpa hukum perkembangan sosial maka tidak mungkin dapat melihat perkembangan sosial yang akan terjadi sebelumnya. Teori organisme mengenai masyarakat telah lama dibuang. Namun demikian, teori sedemikian itu masih dapat membantu untuk tujuan-tujuan tertentu. Dengan cara menghubungkan masyarakat pada gejala alam maka akan dapat memberikan suatu alat untuk memisahkan ide metafisis dan agama sepanjang masa.

Tidak ragu lagi bahwa satu-satunya sumbangan yang paling penting Spencer adalah pengenalannya mengenai evolusi kehidupan sosial. Kondep mengenai kesinambungan perkembangan dalam kehidupan sosial melaluli integrasi dan diferensisasi serta penggunaan teori ini, memacu adanya klasifikasi masyarakat dan organisasi sosial. Keduanya merupakan langkah yang penting bagi berdirinya ilmu pengetahuan masyarakat. Semua proses konflik memjadi penting di dalam evolusi sosial. Proses itu terjadi melalui kegiatan individu serta kelompok, karena manusia mempunyai purposive adaption yang dianggap paling cocok untuk dapat hidup terus di dalam lingkungannya. Gambaran mengenai masyarakat militer dan masyarakat industri dan analisanya mengenai transisi pemerintah dari tipe pemerintahan militer ke tipe pemerintahan industri hingga saat ini masih tetap berlaku. Banyak ide-idenya seperti evolusi yang tidak linier, progres, evolusi alam dan kemajuan yang tak dapat dihindari lagi telah dimodifikasi dalam masa cerahnya pengetahuan masa kini, namun tujuan utamanya masih tetap benar.

Kepercayaan akan kebebasan individu serta faham laissez faire dan konsepnya mngenai pemerintah yang hanya sebagai tujuan untuk membangun keadilan sosial benar-benar dipersoalkan di dalam jaman sekarang, namun mereka mengambil pengaruh yang kuat dari para sosiolog dan filosof akhir abad ke-19. Perasaan seperti tersebut di atas, di Amerika Serikat selalu disinggung dan diulang-ulang sejak tokoh-tokoh seperti Giddings dan Summer khususnya telah dipengaruhi oleh faham semacam ini.

DAFTAR PUSTAKA 

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana

Siahaan, M. Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga

Selasa, 27 November 2012

Teori Perubahan Sosial Budaya "Arnold Joseph Toynbee"

Sekilas Tentang Toynbee

Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955. Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian. Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975 .

Pemikiran Yang Mempengaruhi

Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates. Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei.

Konsep Peradaban Toynbee

Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama. Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemunduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuah masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.

Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasa dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya. Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain.

Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. 21 kebudayaan yang sempurna. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak sejarah tidak terdapat hokum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut :
  1. Genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan.
  2. Growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan.
  3. Decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan. Tingkatan ini terdiri dari:
  1. Breakdown of Civilizations (kemerosotan kebudayaan), Terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
  2. Disintegration Civilizations (kehancuran kebudayaan), Mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
  3. Dissolution of Civilization (lenyapnya kebudayaan), Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.

Toynbee mendeskripsikan sebab-sebab muncul, tumbuh, dan gulung tikarnyakebudayaan dari kesejarahan. Ia meekankan sisi “intelligible” (semacam penalaran) studi sejarah dimana peradaban muncul bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga bertumbuh kegiatan-kegiatan kreatif untuk melakukan usaha-usha yang tak terduga dalam proses “challenge and response”. Melalui tantanganini munculah peradaban, dan bila terus kreatif akan menumbuhkan tanggapan yang makin canggih dengan kreativitas yang makin optimal. Rangsangan-rangsangan kebudayaan terus diasah dan dipertajam yang secara lahiriah berupa penguasaan keadaan luar dan secara batiniah berupa artikulasi dari dalam “self-determination” yang progresif. Terdapat proses “etherialization” yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energy kebudayaan pada optimalisasi tantangan-tantangan yang semakin halus atau spiritualisasidari kebudayaan. Perdaban akan runtuh bila gagal memunculkan kretivitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan kebudayaan itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan zaman.

Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual. Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban.

Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya.

Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.

Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan. Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang senantiasa mengancam seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban. Dalam (Ali Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo) dan di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai.

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasil memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan. Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengtamakan keagamaan. 

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee
Membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html
Nasherooy.blogspot.com/2010/05/teori-siklus-arnold-toynbee.html
Sutrisno, Muji&Putranto,Hendar. 2005. Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius